Senin, 27 Oktober 2014

Kalimat Dasar

Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa berupa kata atau rangkaian kata yang dapat berdiri sendiri dan menyatakan makna yang lengkap. Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang mengungkapkan pikiran yang utuh, baik dengan cara lisan maupun tulisan. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Sedangkan dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.) untuk menyatakan kalimat berita atau yang bersifat informatif, tanda tanya (?) untuk menyatakan pertanyaan dan tanda seru (!) untuk menyatakan kalimat perintah. Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik lisan maupun tertulis, harus memiliki sebuah subjek (S) dan sebuah predikat (P). Kalau tidak memiliki kedua unsur tersebut, pernyataan itu bukanlah kalimat melainkan hanya sebuah frasa.

Kalimat Dasar
Kalimat dasar adalah kalimat yang hanya terdiri atas satu kalusa. Di dalam kalimat dasar hanya terdapat satu subjek dan satu predikat. Selain subjek dan predikat, di dalam kalimat dasar juga terdapat objek dan atau pelengkap serta keterangan. Subjek, predikat, objek, keterangan, dan pelengkap disebut juga unsure kalimat.

Unsur-Unsur Kalimat
Biasanya sebuah kalimat itu memiliki Subjek dan Predikat juga bisa ditambah dengan unsur lain seperti Objek dan Keterangan.
Unsur-unsur Kalimat
1. Subjek dalam kalimat Bahasa Indonesia biasanya adalah seseorang yang melakukan suatu kegiatan tertentu. Dalam kalimat subjek biasanya berupa kata benda. Misalkan: ayah, mobil, gedung, sekolah, dll
2. Predikat adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh subjek. Misalkan: mencuci, makan, belajar, dll.
3. Objek adalah target yang dilakukan subjek. Misal: Saya(S) membaca(P) Koran(O). contoh lainnya adalah: Siswa(S) mengikuti(P) upacara bendera(O).
4. Keterangan disini dapat berupa keterangan tempat, waktu ataupun alat bantu. Missal: di kamar, dengan perlahan, kemarin, dll.


Pola Kalimat

Berpola SP
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek dan predikat. Predikat kalimat untuk tipe ini dapat berupa kata kerja, kata benda, kata sifat, atau kata bilangan. Misalnya:
  • Mereka / sedang berenang. = S / P (Kata Kerja)
  • Ayahnya / guru SMA. = S / P (Kata Benda)
  • Gambar itu / bagus.= S / P (Kata Sifat)
  • Peserta penataran ini / empat puluh orang. = S / P (Kata Bilangan)

Berpola SPO
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, dan objek. subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba transitif, dan objek berupa nomina atau frasa nominal. Misalnya:
  • Mereka / sedang menyusun / karangan ilmiah. = S / P / O
  • Mereka / sedang membuat / layang-layang. = S / P / O

Berpola SPOK
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, objek, dan keterangan. subjek berupa nomina atau frasa nomina, predikat berupa verba intransitif, objek berupa nomina atau frasa nominal, dan keterangan berupa frasa berpreposisi. Misalnya:
  • Kami / memasukkan / pakaian / ke dalam lemari. = S / P / O / K

Berpola SPK
Kalimat dasar tipe ini memiliki unsur subjek, predikat, dan harus memiliki unsur keterangan karena diperlukan oleh predikat. Subjek berupa nomina atau frasa nominal, predikat berupa verba intransitif, dan keterangan berupa frasa berpreposisi. Misalnya:
  • Mereka / berasal / dari Surabaya. = S / P / K

Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang mempunyai dua pola kalimat atau lebih. Kalimat majemuk ini terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat. Cara membedakan anak kalimat dan induk kalimat yaitu dengan melihat letak konjungsi. Induk kalimat tidak memuat konjungsi di dalamnya, konjungsi hanya terdapat pada anak kalimat.

Kalimat Majemuk Setara
kalimat majemuk setara yaitu penggabungan dua kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya sejajar atau sederajat.
Berdasarkan kata penghubungnya (konjungsi), kalimat majemuk setara terdiri dari lima macam, yakni:
JenisKonjungsi
penggabungandan
penguatan/Penegasanbahkan
pemilihanatau
berlawanansedangkan
urutan waktukemudian, lalu, lantas
Contoh:
  1. Lisa pergi ke pasar. (kalimat tunggal 1)
  2. Gio berangkat ke bengkel. (kalimat tunggal 2)
  • Lisa pergi ke pasar sedangkan Fadilah berangkat ke bengkel. (kalimat majemuk)
  • Fadilah berangkat ke bengkel sedangkan Lisa pergi ke pasar. (kalimat majemuk)

Kalimat Majemuk Bertingkat
Kalimat majemuk bertingkat yaitu penggabungan dua kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya berbeda. Di dalam kalimat majemuk bertingkat terdapat unsur induk kalimat dan anak kalimat. Anak kalimat timbul akibat perluasan pola yang terdapat pada induk kalimat.
Berdasarkan kata penghubungnya (konjungsi), kalimat majemuk bertingkat terdiri dari sepuluh macam, yakni:
JenisKonjungsi
syaratjika, kalau, manakala, andaikata, asal(kan)
tujuanagar, supaya, biar
perlawanan (konsesif)walaupun, kendati(pun), biarpun
penyebabansebab, karena, oleh karena
pengakibatanmaka, sehingga
caradengan, tanpa
alatdengan, tanpa
perbandinganseperti, bagaikan, alih-alih
penjelasanbahwa
kenyataanpadahal
Contoh:
  1. Kemarin ayah mencuci motor. (induk kalimat)
  2. Ketika matahari berada di ufuk timur. (anak kalimat sebagai pengganti keterangan waktu)
  • Ketika matahari berada di ufuk timur, ayah mencuci motor. (kalimat majemuk bertingkat cara 1)
  • Ayah mencuci motor ketika matahari berada di ufuk timur. (kalimat majemuk bertingkat cara 2)

Kalimat Berdasarkan Isinya
Berdasarkan isinya, kalimat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:

1. Kalimat Berita
Kalimat yang berisi pernyataan atau pemberitaan dari pengungkap kalimat.
Contoh: Pak Guru mengalami kecelakaan sepulang dari sekolah.

2. Kalimat Tanya
Kalimat yang berisi pertanyaan dari pengungkap kalimat.
Contoh: Apakah benar berita itu?

3. Kalimat Perintah
Kalimat yang berisi perintah dari pengungkap kalimat. Berdasarkan jenisnya, kalimat perintah dibedakan menjadi delapan, yaitu:
a. Kalimat perintah yang sebenarnya.
Kalimat ini ditandai dengan intonasi perintah yang jelas dan khas.
Contoh: Pergi sekarang juga!
b. Kalimat ajakan.
Kalimat perintah yang isinya mengajak pihak lain untuk melakukan sesuatu bersama-sama dengan pengungkap kalimat.
Contoh: Ayo kita makan!
c. Kalimat larangan.
Kalimat perintah yang isinya melarang pihak lain untuk melakukan sesuatu.
Contoh: Jangan pergi ke tempat itu.
d. Kalimat persilaan.
Kalimat perintah yang sangat halus.
Contoh: Hadirin disilakan duduk.
e. Kalimat imbauan.
Kalimat perintah untuk melakukan tindakan tertentu.
Contoh: Peserta dihimbau untuk segera memasuki ruangan.
f. Kalimat harapan atau permohonan.
Hampir mirip dengan kalimat himbauan, hanya kualitas perintahnya lebih kuat.
Contoh: Kami mohon untuk tidak meninggalkan tempat sebelum acara usai.
g. Kalimat Panggilan.
Kalimat perintah yang isinya meminta seseorang untuk datang/menemui pengungkap kalimat.
Contoh: Ayo, sini!

4. Kalimat Seru
Kalimat yang bermakna seruan dari pengungkap kalimat.
Contoh: Hoi, mau pergi kemana?

Senin, 20 Oktober 2014

Diksi

Diksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa Departemen Pendidikan Indonesia adalah pilihan kata yg tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Fungsi dari diksi antara lain :
  • Membuat pembaca atau pendengar mengerti secara benar dan tidak salah paham terhadap apa yang disampaikan oleh pembicara atau penulis.
  • Untuk mencapai target komunikasi yang efektif.
  • Melambangkan gagasan yang di ekspresikan secara verbal.
  • Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca.
Diksi terdiri dari delapan elemen yaitu : fonem, silabel, konjungsi, hubungan, kata benda, kata kerja, infleksi, dan uterans.
Macam macam hubungan makna :
  1. Sinonim
    Merupakan kata-kata yang memiliki persamaan / kemiripan makna. Sinonim sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Contoh: Kata buruk dan jelek, mati dan wafat.
  1. Antonim.
    Merupakan ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna /ungkapan lain. Contoh: Kata bagus berantonim dengan kata buruk; kata besar berantonim dengan kata kecil.
  1. Polisemi.
    Adalah sebagai satuan bahasa (terutama kata atau frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Contoh: Kata kepala bermakna ; bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan, bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan, seperti kepala susu, kepala meja,dan kepala kereta api, bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, kepala paku dan kepala jarum dan Iain-lain.
  1. Hiponim.
    Adalah suatu kata yang yang maknanya telah tercakup oleh kata yang lain, sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan. Contoh : kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan, sebab makna tongkol termasuk makna ikan.
  1. Hipernim.
    Merupakan suatu kata yang mencakup makna kata lain.
  1. Homonim.
    Merupakan kata-kata yang memiliki kesamaan ejaan dan bunyi namun berbeda arti.
  1. Homofon.
    Merupakan kata-kata yang memiliki bunyi sama tetapi ejaan dan artinya berbeda.
  1. Homograf.
    Merupakan kata-kata yang memiliki tulisan yang sama tetapi bunyi dan artinya berbeda.
Makna Denotasi
Makna Denotasi merupakan makna kata yang sesuai dengan makna yang sebenarnya atau sesuai dengan makna kamus.

Contoh :
Adik makan nasi.
Makan artinya memasukkan sesuatu ke dalam mulut.

Makna Konotasi
Kalau makna Denotasi adalah makna yang sebenarnya, maka seharusnya Makna Konotasi merupakan makna yang bukan sebenarnya dan merujuk pada hal yang lain. Terkadang banyak eksperts linguistik di Indonesia mengatakan bahwa makna konotasi adalah makna kiasan, padahal makna kiasan itu adalah tipe makna figuratif, bukan makna konotasi. Makna Konotasi tidak diketahui oleh semua orang atau dalam artian hanya digunakan oleh suatu komunitas tertentu. Misalnya Frase jam tangan.
Contoh:
Pak Slesh adalah seorang pegawai kantoran yang sangat tekun dan berdedikasi. Ia selalu disiplin dalam mengerjakan sesuatu. Pada saat rapat kerja, salah satu kolega yang hadir melihat kinerja beliau dan kemudian berkata kepada sesama kolega yang lain “Jam tangan pak Slesh bagus yah”.
Dalam ilustrasi diatas, frase jam tangan memiliki makna konotasi yang berarti sebenarnya disiplin. Namun makna ini hanya diketahui oleh orang-orang yang bekerja di kantoran atau semacamnya yang berpacu dengan waktu. Dalam contoh diatas, Jam Tangan memiliki Makna Konotasi Positif karena sifatnya memuji
Makna konotasi dibagi menjadi 2 yaitu konotasi positif  merupakan kata yang memiliki makna yang dirasakan baik dan lebih sopan, dan konotasi negatif merupakan kata yang bermakna kasar atau tidak sopan.

Minggu, 12 Oktober 2014

Ejaan Yang Disempurnakan

EYD

     adalah ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sejak tahun 1972. Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi.

           Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari usaha yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para pelaksananya pun di samping terdiri dari panitia Ejaan LBK, juga dari panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang kemudian diberi nama Ejaan Baru. Panitia itu bekerja atas dasar surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan no.062/67, tanggal 19 September 1967.
Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia Tun Hussein Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi" dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) dan bahasa Indonesia. Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB). Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdakan Republik Indonesia yang ke XXVII, tanggal 17 Agustus 1972 diresmikanlah pemakaikan ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972, ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut merupakan hasil yang dicapai oleh kerja panitia ejaan bahasa Indonesia yang telah dibentuk pada tahun 1966. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan ini merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan dari pada Ejaan Suwandi atau ejaan Republik yang dipakai sejak dipakai sejak bulan Maret 1947.
Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 Nomor 0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dan "Pedoman Umum Pembentukan Istilah".

Perbedaan dengan ejaan sebelumnya

           Perubahan yang terdapat pada Ejaan Baru atau Ejaan LBK (1967), antara lain.
  • "tj" menjadi "c" : tjutji → cuci
  • "dj" menjadi "j": djarak → jarak
  • "j" menjadi "y" : sajang → sayang
  • "nj" menjadi "ny" : njamuk → nyamuk
  • "sj" menjadi "sy" : sjarat → syarat
  • "ch" menjadi "kh": achir → akhir
Beberapa kebijakan baru yang ditetapkan di dalam EYD, antara lain.
  • Huruf f, v, dan z yang merupakan unsur serapan dari bahasa asing diresmikan pemakaiannya.
  • Huruf q dan x yang lazim digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan tetap digunakan, misalnya pada kata furqan, dan xenon.
  • Awalan "di-" dan kata depan "di" dibedakan penulisannya. Kata depan "di" pada contoh di rumahdi sawah, penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara "di-" pada dibeliatau dimakan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
  • Kata ulang ditulis penuh dengan mengulang unsur-unsurnya. Angka dua tidak digunakan sebagai penanda perulangan
Secara umum, hal-hal yang diatur dalam EYD adalah:
  1. Penulisan huruf, termasuk huruf kapital dan huruf miring.
  2. Penulisan kata.
  3. Penulisan tanda baca.
  4. Penulisan singkatan dan akronim.
  5. Penulisan angka dan lambang bilangan.
  6. Penulisan unsur serapan.
Sebelumnya "oe" sudah menjadi "u" saat Ejaan Van Ophuijsen diganti dengan Ejaan Republik. Jadi sebelum EYD, "oe" sudah tidak digunakan.
Untuk penjelasan lanjutan tentang penulisan tanda baca, dapat dilihat pada Penulisan tanda baca sesuai EYD.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Ragam Bahasa Indonesia

Ragam Bahasa

Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara. Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik , yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
          Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku.

    Macam – Macam Ragam Bahasa Indonesia

  1. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan media


          Di dalam bahasa Indonesia disamping dikenal kosa kata baku Indonesia dikenal pula kosa kata bahasa Indonesia ragam baku, yang sering disebut sebagai kosa kata baku bahasa Indonesia baku. Kosa kata baku bahasa Indonesia, memiliki ciri kaidah bahasa Indonesia ragam baku, yang dijadikan tolak ukur yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan penutur bahasa Indonesia, bukan otoritas lembaga atau instansi didalam menggunakan bahasa Indonesia ragam baku. Jadi, kosa kata itu digunakan di dalam ragam baku bukan ragam santai atau ragam akrab. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan digunakannya kosa kata ragam baku di dalam pemakian ragam-ragam yang lain asal tidak mengganggu makna dan rasa bahasa ragam yang bersangkutan. Suatu ragam bahasa, terutama ragam bahasa jurnalistik dan hukum, tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan bentuk kosakata ragam bahasa baku agar dapat menjadi panutan bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Perlu diperhatikan ialah kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan dengan latar belakang pembicaraan (situasi pembicaraan), pelaku bicara, dan topik pembicaraan (Fishman ed., 1968; Spradley, 1980). 
Ragam bahasa Indonesia berdasarkan media dibagi menjadi dua yaitu :

a). Ragam bahasa lisan

          Adalah ragam bahasa yang diungkapkan melalui media lisan, terkait oleh ruang dan waktu sehingga situasi pengungkapan dapat membantu pemahaman. Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian, ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur  di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan. Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis. 
Ciri-ciri ragam lisan :
  • Memerlukan orang kedua/teman bicara;
  • Tergantung situasi, kondisi, ruang & waktu;
  • Hanya perlu intonasi serta bahasa tubuh.
  • Berlangsung cepat;
  • Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu;
  • Kesalahan dapat langsung dikoreksi;
  • Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta intonasi.


          Yang termasuk dalam ragam lisan diantaranya pidato, ceramah, sambutan, berbincang-bincang, dan masih banyak lagi. Semua itu sering digunakan kebanyakan orang dalam kehidupan sehari-hari, terutama ngobrol atau berbincang-bincang, karena tidak diikat oleh aturan-aturan atau cara penyampaian seperti halnya pidato ataupun ceramah.

b). Ragam bahasa tulis

          Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide. Contoh dari ragam bahasa tulis adalah surat, karya ilmiah, surat kabar, dll. Dalam ragam bahsa tulis perlu memperhatikan ejaan bahasa indonesia yang baik dan benar. Terutama dalam pembuatan karya-karya ilmiah.
Ciri Ragam Bahasa Tulis :
  • Tidak memerlukan kehadiran orang lain.
  • Tidak terikat ruang dan waktu.
  • Kosa kata yang digunakan dipilih secara cermat.
  • Pembentukan kata dilakukan secara sempurna.
  • Kalimat dibentuk dengan struktur yang lengkap.
  • Paragraf dikembangkan secara lengkap dan padu.
  • Berlangsung lambat.
  • Memerlukan alat bantu.



2.      Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur

  • Ragam Bahasa Berdasarkan Daerah (logat/diolek)


          Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak pada pelafalan “b” pada posisi awal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dan lain-lain. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan “t” seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll.

  • Ragam Bahasa berdasarkan Pendidikan Penutur
           Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai.

  • Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur


           Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Bahasa baku dipakai dalam :
  1. Pembicaraan di muka umum, misalnya pidato kenegaraan, seminar, rapat dinas memberikan kuliah/pelajaran.
  2. Pembicaraan dengan orang yang dihormati, misalnya dengan atasan, dengan guru/dosen, dengan pejabat.
  3. Komunikasi resmi, misalnya surat dinas, surat lamaran pekerjaan, undang-undang.
  4. Wacana teknis, misalnya laporan penelitian, makalah, tesis, disertasi.



3.      Ragam Bahasa menurut Pokok Pesoalan atau Bidang Pemakaian

          Dalam kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ini kita pun menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan ekonomi/perdagangan, olah raga, seni, atau teknologi. Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah laras bahasa.
Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang agama. Koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran. Improvisasi, maestro, kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni. Kalimat yang digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Kalimat dalam undang-undang berbeda dengan kalimat-kalimat dalam sastra, kalimat-kalimat dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat dalam koran atau majalah dan lain-lain.

Bahasa Baku

         Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya. Bahasa ini digunakan dalam situasi resmi, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan.
Bahasa baku menjalankan empat fungsi, yaitu (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi penanda kepribadian, (3) fungsi penambah wibawa, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.

Aturan Bahasa Indonesia
Bahasa jurnalistik harus mengindahkan kaidah-kaidah tata bahasa. Ia harus mengikuti pokok aturan bahasa Indonesia. Pokok aturan pertama: Yang penting atau yang dipentingkan ditaruh di depan, yang kurang penting atau keterangan di belakang. Dengan demikian kita menulis: “Buku ini bagus” bukan “Ini buku bagus”; “Malam nanti kita menonton”, bukan “Nanti malam kita menonton”. Pokok aturan kedua: Kata benda Indonesia tidak memunyai bentuk jamak (plurak; jumlah lebih dari satu). Untuk menunjukkan jamak digunakan kata “banyak”, “beberapa”, “semua”, “segala”, “setengah”, dan sebagainya atau disebut jumlahnya. Penjamakan kata dapat juga dilakukan dengan mengulang kata sifat yang di bekangnya, misalnya “kota bersih-bersih”, “kuda bagus-bagus”. Terkadang dikatakan pula “kota-kota bersih”, “kuda-kuda bagus”. Pokok aturan ketiga: Tidak ada benda untuk laki-laki atau perempuan dalam bentuk kata benda.

Ejaan
         Bahasa jurnalistik harus memperhatikan ejaan yang benar. Kedengarannya mudah, tetapi dalam praktek bukan main banyak kesulitan. Wartawan semestinya memiliki Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan untuk dikonsultasi sewaktu diperlukan.

Pertumbuhan Kosa Kata
         Kata-kata ialah alat para wartawan. Mereka tidak dapat bekerja jika tidak memiliki jumla kata yang cukup. Untuk itu harus diperoleh suatu penguasaan, baik kosa kata (vocabulary) dan ungkapan-ungkapan (phrase). Wartawan atau lebih luas media massa memunyai peranan dalam menyiptakan kata-kata baru atau dalam pertumbuhan kosa kata. Banyak kata yang dipopulerkan melalui surat kabar seperti heboh, gengsi, anda, ganyang, ceria, sadis, dan sekian banyak kata baru yang muncul akhir-akhir ini.

Ekonomi Kata dan Kata Mubazir
          Ekonomi kata (word economy) sangat diperlukan untuk membentuk bahasa jurnalistik yang lebih efisien (hemat dan jelas). Kita tidak menulis “agar supaya”, tetapi cukup satu perkataan saja, “agar” atau “supaya”. Kita selalu berusaha menulis dengan kalimat pendek, tidak dengan kalimat majemuk. Kita juga mesti menghilangkan ungkapan atau peribahasa. Berkaitan dengan efisiensi pula, bahasa jurnalistik selalu membuang kata mubazir. Kata mubazir ialah kata yang bila tidak dipakai tidak akan mengganggu kelancaran komunikasi. Kata mubazir ialah kata yang sifatnya tarasa berlebih-lebihan. Kata mubazir ialah kata yang bila dihilangkan dari sebuah kalimat malahan akan membantu memperlancar jalan bahasa dan membuat kalimat itu lebih kuat kesannya. Kata-kata yang digarisbawahi dalam kalimat-kalimat berikut ini ialah kata mubazir yang lebih baik jika dihilangkan saja.
  1. Ismail menjelaskan bahwa pembinaan kesenian Pesawaran sebenarnya cukup baik.
  2. Pernyataan dari/daripada pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Lampung itu adalah merupakan suatu pernyataan yang keliru.
  3. Ratusan pelajar telah menyerbu Kawasan Wisata Batu Putu beberapa waktu lalu.
  4. Budi Anduk menyatakan bahwa ia akan siap untuk memikul tanggung jawab sebagai Bupati Serungkuk.
  5. Unila sedang nampak sibuk menggelar berbagai kegiatan-kegiatan Dies Natalis.
Kalimat-kalimat di atas akan lebih baik jika dibuat:
  1. Ismail menjelaskan, pembinaan kesenian Pesawaran sebenarnya cukup baik.
  2. Penyataan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Lampung itu suatu kekeliruan.
  3. Ratusan pelajar menyerbu Kawasan Wisata Batu Putu beberapa waktu lalu.
  4. Budi Anduk menyatakan siap memikul tanggung jawab sebagai Bupati Serungkuk.
  5. Unila nampak sibuk menggelar berbagai kegiatan Dies Natalis.
          Dengan demikian, kita telah berkenalan dengan beberapa kata mubazir seperti “adalah” (kata kopula), “telah”, “sedang”, dan “akan” (pengaruh tenses dalam bahasa Inggris); “untuk” (sebagai terjemahan todalam bahasa Inggris); “dari” dan “daripada” (sebagai terjemahan of dalam hubungan milik); bahwa (sebagai kata sambung); dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.


Kesalahan - Kesalahan Bahasa
  • Kerancuan (Kontaminasi)
Kontaminasi ialah pencampuran dengan tidak sengaja. Pencampuran ini sudah tentu tidak dapat dibenarkan karena membuat kalimat menjadi kacau (rancu). Contoh:
1. “untuk sementara waktu” mestinya “untuk sementara” atau “untuk beberapa waktu” (sementara = sedang, untuk beberapa waktu);
2. “sementara orang” mestinya “beberapa orang”
3. “selain daripada itu” mestinya “selain itu” atau “lain daripada itu”;
4. “dan lain sebagainya” mestinya “dan lain-lain” atau “dan sebagainya”;
5. “berhubung karena” mestinya “berhubung dengan” atau “karena”;
6. “demi untuk” mestinya “demi” saja atau “untuk” saja;
7. “agar supaya” mestinya “agar” saja atau “supaya” saja;
8. “Menurut Ketua Panitia Bulan Bahasa SMPN 2 Negerikaton Sakwan mengatakan, peserta setiap cabang lomba tahun ini membludak.”
mestinya :
“Menurut Ketua Panitia Bulan Bahasa SMPN 2 Negerikaton Sakwan, peserta setiap cabang lomba tahun ini membludak.”
atau
“Ketua Panitia Bulan Bahasa SMPN 1 Negerikaton Sakwan mengatakan, peserta setiap cabang lomba tahun ini membludak.”
Kata ‘di mana’, ‘hal mana’, ‘yang mana’
Baik dalam bahasa percakapan maupun dalam bahasa tulisan, banyak kita jumpai kalimat relatif yang dihubungkan dengan kata-kata:
di mana; yang mana; hal mana; di atas mana; dari mana; dengan siapa.
Dengan tidak disadari kita terpengaruh oleh struktur bahasa asing. Kata-kata tersebut ialah kata ganti penghubung. Dalam bahasa Belanda kata-kata tersebut ialah:
wat; welke; waarop; waarcan; met wie.
Contoh:

  1. Kantor di mana dia bekerja, tidak jauh dari rumahnya.
  2. Keadaan di Iran sangar gawat, yang mana mengancam tahta Shah.
  3. Daerah dari mana beras didatangkan terletak jauh di pedalaman.
  4. Orang dengan siapa dia akan berunding ternyata bajingan.
  5. Penyakit ityu dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) di mana konsentrasi besar mereka di Vietnam.
Kalimat-kalimat di atas sebenarnya tidak mengikuti kaidah tata bahasa Indonesia. Kalimat-kalimat itu sebaiknya berbunyi:
  1. Kantor tempat dia bekerja tidak jauh dari rumahnya.
  2. Keadaan di Iran sangat gawat, dan mengancam tahta Shah.
  3. Daerah yang menghasilkan beras terletak jauh dari pedalaman.
  4. Orang yang akan berunding dengan dia ternyata bajingan.
  5. Penyakit itu berasal (dan disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI). Konsentrasi besar mereka ada di Vietnam.


    Bentuk Aktif dan Pasif Disatukan
Disiplinkan pikiran supaya tidak mencampur adukkan bentik pasif (di-) dengan bentuk aktif (me-) dalam satu kalimat.
Contoh:
“Karang Taruna Negarasuka-suka Senin kemarin memulai rapat kerjanya selama tiga hari di Hotel Bahagia, dibuka oleh Bupati Serungkuk Rahman Seago-ago.”
Teras berita ini mesti dipecah dalam dua kalimat:
“Karang Taruna Negarasuka-suka Senin kemarin memulai rapat kerjanya selama tiga hari di Hotel Bahagia. Rapat kerja itu dibuka Bupati Serungkuk Rahman Seago-ago.”
Kata Depan atau Awalan?
Sering terjadi wartawan melakukan kesalahan dalam penulisan kata “di” dan “ke”. Kesulitan ini biasanya terletak pada kapan harus menulis kedua kata itu serangkai dan kapan mesti menulis terpisah dengan kata yang di belakangnya. Untuk mengatasi kesulitan itu, kita harus dapat membedakan “di dan ke sebagai kata depan” dan “di- dan ke- sebagai awalan”. Jika ia berfungsi sebagai kata depan, maka penulisannya terpisah; tetapi jika berfungsi sebagai awalan, maka penulisannya serangkai dengan kata yang menyertainya.

  • Hiperkorek
Hiperkorek (bahasa Inggris: hypercorrect) berarti “melampaui batas tepat atau benar sehinga menjadi salah”.
Contoh:
1. “Dipakai tenaga akhli Amerika dengan memberikan gajih yang cukup tinggi.” Kata akhli harus ditulis ahli dan gajih menjadi gaji.
2. “Di lain fihak, perbedaan tingkat ekonomi yang menyolok itu, juga sering menimbulkan iri hati.” Kata fihak harus ditulis pihak.



Sumber : http://fitriharsono.blogspot.com/2013/09/ragam-bahasa-indonesia.html